Di Balik Secangkir Kopi Pelaga

Lebih dari Sekadar Kopi Hangat, Sebuah Warisan dari Tanah Tinggi Bali

Gambar Artikel

Di dataran tinggi Bali yang sejuk, aroma khas kopi Arabika menyatu dengan embun pagi dan bisikan hutan tropis. Tapi jauh sebelum dunia mengenal nama Pelaga sebagai penghasil kopi unggulan, ada kisah sederhana yang memulainya, kisah seorang petani dan pohon kopi pertamanya. Pada tahun 1979, seorang petani bernama I Nyoman Juta, yang juga kakek saya, menanam pohon kopi Arabika pertamanya. Sementara mayoritas petani lain di Bali kala itu menanam robusta, beliau memilih jalan berbeda. Dengan tekad dan visi jauh ke depan, ia mulai membudidayakan Arabika di ketinggian Pelaga, sebuah keputusan yang saat itu dianggap tak biasa.

Dengan keberanian dan naluri alami terhadap tanah yang ia cintai, ia menanam pohon kopi Arabika pertamanya. Awalnya, tidak banyak yang percaya. Tapi seperti kopi yang perlu waktu untuk matang, hasil dari pilihan itu mulai menunjukkan keajaibannya. Aroma khas, keasaman cerah, dan tubuh ringan yang seimbang, semua menjadi ciri khas kopi Pelaga yang kini dikenal luas.

Setelah dipanen dengan tangan secara selektif, hanya buah matang sempurna yang dipetik lalu kopi difermentasi selama 24 jam penuh. Proses ini bukan sekadar teknik, melainkan warisan yang terus dijaga. Fermentasi yang tepat memberi kedalaman rasa: ada jejak floral, nuansa rempah lembut, dan kadang-kadang sentuhan cokelat atau citrus di setiap seduhannya. Tidak ada mesin canggih, hanya pengalaman, pengamatan, dan rasa percaya terhadap alam. Di Pelaga, menyeduh kopi adalah ritual yang nyaris tak berubah sejak puluhan tahun lalu. Kami tidak memakai mesin espresso, tidak pula menggunakan alat penyaring modern. Di rumah-rumah penduduk, kopi direbus langsung di atas api kayu, dalam panci logam kecil.

Air dan bubuk kopi dimasukkan bersamaan, lalu didihkan perlahan. Tidak ada takaran pasti, hanya takaran hati dan kebiasaan turun-temurun. Begitu kopi mulai mendidih dan aromanya memenuhi ruangan, kami tahu: kopi telah siap. Disajikan tanpa disaring, ampasnya mengendap sendiri di dasar cangkir. Di sinilah filosofi Pelaga terasa: kesederhanaan yang jujur, tanpa basa-basi, tapi kaya makna.

Lebih dari Komoditas: Kopi Sebagai Identitas

Kopi Pelaga bukan sekadar hasil pertanian. Ia adalah wajah desa, simbol ketekunan, dan cermin filosofi hidup masyarakat setempat. Menanam kopi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga pelestarian lingkungan. Pohon kopi ditanam bersamaan dengan pohon pelindung, menjaga tutupan hutan, menjaga air tanah, dan memperkaya biodiversitas. Lebih dari itu, kopi menjadi ruang belajar lintas generasi. Dari kakek ke ayah, dari ayah ke anak, ilmu merawat pohon kopi, memetik buah, hingga menyeduhnya diwariskan secara lisan. Ia hidup dalam cerita, dalam percakapan sore di bale, dalam aroma yang menguar dari dapur setiap pagi.

Kini, kopi Pelaga mulai dikenal lebih luas. Ia hadir di kedai kopi modern di kota, diseduh dengan berbagai metode, bahkan diekspor ke luar negeri. Namun bagi kami, setiap cangkir tetap membawa pulang ingatan akan embun pagi di kebun, suara ayam hutan di kejauhan, dan tangan-tangan petani yang penuh tanah namun penuh cinta.