Mengatasi Permasalahan Limbah Jeruk Melalui Kolaborasi Lintas Kluster Produk Aromaterapi

Di balik potensi jeruk yang tumbuh subur, tersimpan sebuah persoalan yang selama ini luput dari perhatian: limbah jeruk pasca panen.

Gambar Artikel

Desa Pelaga, yang terletak di dataran tinggi Pulau Bali, terkenal akan alamnya yang subur dan produk pertanian yang melimpah. Salah satu komoditas unggulan dari desa ini adalah jeruk dengan aroma khas yang tumbuh subur di kebun-kebun warga. Namun, di balik potensi tersebut, tersimpan sebuah persoalan yang selama ini luput dari perhatian: limbah jeruk pasca panen.

Setiap musim panen, limbah berupa kulit, ampas, dan buah yang rusak kerap dibiarkan menumpuk. Tidak hanya menimbulkan bau, limbah tersebut juga berisiko mencemari lingkungan. Padahal, jika diolah dengan tepat, limbah jeruk menyimpan potensi luar biasa, dimulai dari kandungan minyak atsiri hingga nilai ekonomis yang tinggi. Inilah yang mendorong kami, tim KKN-PPM UGM Belok ke Pelaga 2025, untuk bertindak.

Dengan semangat kolaboratif lintas ilmu, kami membentuk sinergi dari berbagai kluster: Medika, Agro, Soshum, hingga Pariwisata. Tujuannya satu: mengubah masalah menjadi peluang berkelanjutan. Solusi dimulai dari praktik lapangan sederhana. Selvi Yuli, mahasiswa dari Kluster Medika, memimpin proses ekstraksi minyak atsiri dari limbah jeruk. Dengan metode distilasi uap, kulit jeruk yang biasanya dibuang kini disulap menjadi essential oil berkualitas. Minyak ini memiliki aroma segar, bersifat antiseptik alami, dan memiliki manfaat relaksasi sebagai bahan utama dalam produk aromaterapi.

"Kulit jeruk punya potensi besar sebagai sumber minyak atsiri. Ini bukan sekadar daur ulang, ini transformasi," ujar Selvi saat mendemonstrasikan proses ekstraksi kepada warga setempat.

Dari hasil ekstraksi itulah muncul ide produk turunan: lilin aromaterapi berbasis minyak jeruk lokal. Proses pembuatan dikembangkan oleh M. Rofiq, mahasiswa Fakultas Teknik Pertanian, yang merancang formula lilin berbasis lilin nabati (soy wax) dan minyak atsiri jeruk. Hasilnya adalah lilin beraroma segar yang menenangkan dan ramah lingkungan. Tidak hanya estetis dan fungsional, lilin ini juga membawa cerita tentang pertanian, inovasi, dan keberlanjutan. Produk ini mulai diuji coba di rumah-rumah warga dan mendapat respons positif. Tentu, produk inovatif tidak cukup hanya dibuat, tetapi juga perlu dikenalkan dan dijual. Maka di sinilah Nasyawa, mahasiswa FISIPOL, mengambil bagian. Ia memberikan sesi pelatihan marketing dan packaging bagi warga dan UMKM lokal. Materi yang disampaikan meliputi desain label yang menarik, cara membuat narasi produk yang menggugah, hingga strategi penjualan melalui media sosial.

Hasil lilin aromaterapi dari jeruk

Kolaborasi tidak hanya berhenti di situ. Salsa Nada, mahasiswa dari Program Studi Bisnis Perjalanan Wisata, melihat peluang besar untuk mengintegrasikan lilin aromaterapi ke dalam paket wisata lokal. Wisatawan yang datang ke Pelaga diharapkan tidak hanya menikmati alam, tapi juga ikut workshop membuat lilin aromaterapi dari limbah jeruk, membawa pulang produk buatan mereka sendiri, sebuah souvenir berkesan dan edukatif.

Kolaborasi lintas kluster ini membuktikan bahwa dengan kerja sama, inovasi bisa lahir dari hal yang sederhana seperti limbah jeruk. Dari bahan yang dulunya terbuang, kini tercipta produk aromaterapi bernilai ekonomi dan budaya. Semoga langkah kecil ini bisa menjadi inspirasi bagi desa lain untuk melihat peluang dari permasalahan yang ada.